DANPEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19 Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada keresidenan lain di Pulau Jawa. Jumlah Cariproperti dan perumahan dijual di Bali Maksimum Rp 12.000.000 per M². Iklan jual beli properti dan perumahan terlengkap dan terbaru dari harga murah sampai lokasi, foto, video dan info properti lain semua ada. To comply with GDPR we will not store any personally identifiable information from you. Therefore we will serve sub-optimal Tanahsawah terluas di Pulau Jawa berada di Jawa Timur mencapai 1.084.278 hektar, diikuti Jawa Tengah seluas 1.064.776 hektar, kemudian Jawa Barat Sistem tenurial dan pemilikan tanah; (iv) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dalamnya intervensi negara terhadap Sementarapenelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC. Kata kunci : Dampak, Penerapan, Tanam Bentukpola tanam sistem agroforestry di lahan kering Areal lahan kering di Indonesia terluas, yaitu mencapai 52,5 Juta Ha yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 Juta Ha), Sumatera (14,8 Juta Ha), Kalimantan (7,4 Juta Ha), Sulawesi (5,1 Juta Ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 Juta Ha) dan Irian Jaya (11,8 Juta Ha) (Pusat Penelitian Tanah DiPulau Jawa tanah pertanian yang beralih fungsi untuk permukiman dan industri seluas 81.176 hektar terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 hektar. Alih fungsi tanah pertanian yang terluas terjadi di Propinsi Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89%). kanstruktur penguasaan tanah yang kondusif untuk membangun sistem usaha pertanian tangguh. Secara teoritis, lahirnya Tap tersebut persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang Iuasnya hanya 6,9 persen dari luas daratan Indonesia. Pada tahun 2000 kepadatan pen- rapan Menurut Kelompok Pemilikan Sawah di Daerah Pesawahan DAS Brantas, 1999/ STRUKTURSOSIAL, POLITIK, DAN PEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19 oleh: Mumuh Muhsin Z. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangor mumuhmz@ Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan moment penetrasi kolonial yang sangat intens. mOXJM. ArticlePDF Available AbstractAbstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial. Abstract In 19th century, Priangan – and Java in general – faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash crops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their society. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 386Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSTRUKTUR SOSIAL, POLITIK, DAN PEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19Oleh Mumuh Muhsin Sejarah Fakultas Sastra Universitas PadjadjaranJl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangoremail mumuhmz diterima 15 Juni 2011 Naskah disetujui 4 Juli 2011AbstrakAbad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kunci Priangan, sosial, politik, 19th century, Priangan – and Java in general – faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3872011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungcrops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their Priangan, social, political, landPENDAHULUANA. Pada abad ke-19 hubungan antara kekuasaan tradisional pribumi dan kekuasaan Kolonial Belanda menunjukkan dua gejala yang bertolak belakang. Di satu pihak kekuasaan kolonial makin meluas, di lain pihak kekuasaan pribumi makin melemah. Hubungan dengan kekuasaan kolonial ini berpengaruh terhadap berbagai segi kehidupan. Dalam bidang politik, pengaruh Belanda makin kuat karena intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern kekuasaan pribumi seperti dalam masalah suksesi, promosi, mutasi, dan rotasi pejabat. Dalam bidang ini, penguasa-penguasa tradisional makin bergantung pada kekuasaan asing sehingga kebebasan dalam menentukan soal-soal pemerintahan makin melemah. Dalam bidang sosial-ekonomi kontak dengan Barat berakibat melemahnya kedudukan kepala-kepala daerah dan pemimpin-pemimpin tradisional. Kekuasaan mereka berangsur berkurang dan ditempatkan di bawah pengawasan pejabat-pejabat asing sedangkan tenaga mereka dilibatkan dalam sistem eksploitasi ekonomi kolonial. Di Priangan faktor-faktor produksi pertanian, baik menyangkut tanah maupun tenaga kerja, diatur sedemikian rupa untuk kepentingan kolonial. Para petani dibebani tugas mengolah sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman ekspor dan diharuskan menyumbangkan tenaganya secara paksa pada penguasa kolonial. Dalam bidang budaya, abad ke-19 merupakan momentum makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat dalam lingkungan kehidupan tradisional. Tulisan ini memfokuskan kajian pada tiga aspek, yaitu aspek sosial, politik, dan pertanahan. Ketiga aspek ini menjadi instrumen handal bagi pemerintah kolonial mengeruk keuntungan HASIL DAN BAHASANStruktur Sosial dan Politik 1. Secara umum terdapat tiga level masyarakat Priangan, yaitu menak sebagai kelas sosial paling tinggi, kemudian diikuti santana sebagai kelas menengah, dan somahan sebagai kelas bawah. Ada tiga kriteria yang dapat menentukan posisi seseorang dalam masyarakat saat itu. Pertama adalah faktor keturunan atau hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam birokrasi pemerintah. Seseorang yang memiliki satu karakteristik atau kedua-duanya, dia termasuk kelompok menak elite. Ketiga, kepemilikan seseorang terhadap tanah, yang kadang- 388Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkadang atau bahkan kebanyakan dari mereka, berkorelasi dengan posisinya dalam struktur birokrasi. Orang di luar kelompok menak dan santana dianggap sebagai orang kebanyakan commoners.Sebelum VOC be r k u a s a atas Priangan, struktur masyarakat Priangan terdiri atas kelas sebagai berikut. Struktur sosial paling atas adalah bupati, sebagai menak paling tinggi, dan keluarga bupati merupakan kelas yang tinggi juga. Kemudian diikuti pejabat-pejabat kabupaten, yang biasanya merupakan klien personal atau kerabat bupati. Termasuk dalam kelas ini adalah pejabat militer, sipil, agama, dan pengadilan. Mereka dikategorikan sebagai santana atau kadang-kadang disebut juga menak rendah. Kelompok pejabat ini terdiri atas orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, bakat dan kemampuan, atau kesetiaan kepada penguasa bupati. Pada periode yang kemudian, terutama setelah Pemerintah Kolonial memperkenalkan lembaga-lembaga pendidikan, stratikasi sosial tidak lagi sekadar karena keturunan tapi ditentukan oleh fungsi dan pekerjaan. Kedua faktor ini, pendidikan dan pekerjaan, cenderung mengimbangi dominasi kelas menak di tengah masyarakat. Di antara orang Priangan, anggota keluarga menak atas yang memiliki akses sangat terbuka pada pendidikan Barat. Namun, keluarga menak rendah santana, karena jumlah anggota keluarganya yang lebih banyak, mungkin mayoritas dari merekalah yang secara riil memperoleh pendidikan ini. Pada permulaannya, Kompeni melindungi pola otoritas tradisional dengan tujuan menjadikannya sebagai alat untuk memperlancar dan mempercepat proses produksi tanaman ekspor. Selain itu, kebijakan ini pun dinilai dapat mengamankan penyerahan produksi. Selanjutnya Kompeni menciptakan ikatan kontraktual dengan elit tradisional. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan tereduksinya posisi bupati yang memiliki ketergantungan secara ekonomi kepada Kompeni. Pengambilalihan Priangan oleh Pemerintah Belanda dari Kompeni pada permulaan abad ke-19 berarti implementasi standar-standar administratif baru dalam wilayah ini sesuai dengan sistem hukum baru pula. Inovasi penting dalam organisasi politik yang diterapkan pemerintah kolonial adalah distribusi kekuasaan politik di antara pengawas-pengawas Belanda yang mengontrol prestasi bupati dan bawahannya. Perubahan ini berimplikasi pada perlunya membagi wilayah ke dalam bagian-bagian sik yang konkret, yang kemudian disebut keresidenan. Bupati ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Bupati berubah menjadi pejabat dengan beberapa keterbatasan dan menjadi subordinat atas superioritas pejabat Belanda Kartodirdjo, 1984 134. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah pejabat-pejabat Belanda, meskipun secara umum tetap terbatas. Pada tahun 1860 total jumlah pejabat Belanda yang tinggal di Priangan sebanyak 38 orang, dipimpin oleh residen yang tinggal di Bandung, tiga orang asisten residen di ibu-ibu kota kabupaten, dan sembilan inspektur tanaman. Seluruh sistem tanaman kopi diatur oleh 12 orang Eropa Svensson, 1992 109.Selain itu, tampilan administrasi pemerintah telah meningkatkan tuntutan yang besar untuk birokrasi. Dalam periode yang relatif singkat terbuka kesempatan bagi orang-orang non-menak atau santana untuk memasuki Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3892011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungbirokrasi pemerintahan. Pada tahun 1860, misalnya, tercipta kesempatan yang besar untuk bergabung dalam birokrasi di Priangan. Mengitari lima bupati terdapat pejabat yang memimpin wilayah. Mereka itu terdiri atas 73 kepala kacutakan district yang disebut wedana, kepala terup under-district yang disebut pattinggi, kepala desa yang disebut lurah, dan pegawai rendah di kampung. Selain itu, terdapat pejabat lain dalam posisi yang berbeda beberapa di antaranya yang terlibat dalam pengerjaan tanaman kopi, penyerahan kopi, yang bertanggung jawab mengorganisasi pekerja/buruh, atau yang menangani pengumpulan pajak, transportasi, polisi, dan yudisial. Selain itu terdapat juga pejabat-pejabat yang menangani urusan agama. Jumlah mereka sebanyak orang. Kesemuanya bertanggung jawab kepada bupati. Mereka itu terdiri atas 5 orang kepala penghulu, 6 orang kepala khalifah atau naib, 72 orang penghulu distrik, 99 orang khalifah atau naib distrik, orang lebe, 830 khatib, imam, modin, merbot, bilal, dan 73 amil zakat Van Rees, 1869; Svensson, 1992 110; Pijper, 1977.Pada tahun 1870 Pemerintah Kolonial mereorganisasi administrasi pemerintah pribumi berhubungan dengan prinsip-prinsip esiensi dan efektivitas pemerintahan. Untuk tujuan-tujuan itu, struktur administrasi baru diciptakan. Pemerintah Kolonial mengurangi jumlah pegawai pribumi dalam birokrasi pemerintah, baik pegawai sekular maupun pegawai agama. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 10 Oktober 1870 dan dibukukan dalam Staatsblad tahun 1870 nomor 124 diputuskan bahwa jumlah pejabat pribumi dalam birokrasi pemerintah sebanyak orang dengan rincian sebagai berikut 5 bupati, 9 patih termasuk patih afdeling, 5 mantri kabupaten, 1 hoffddjaksa, 1 adjunct-hoofddjaksa, 8 jaksa, 8 adjunct-djaksa, 5 hoofd-penghulu, 4 penghulu, 63 wedana hoofd-district, 150 asistan wedana hoofd-onderdistrict, 9 onder-collecteur, 50 mantri pengairan, 82 juru tulis, dan 625 upas. Keputusan itu tidak menutup kemungkinan mengangkat orang lain sebagai pegawai sejauh bupati punya kesanggupan menggajinya Lubis , 1998 40. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga dalam hak dan kewenangan pegawai pribumi dikurangi oleh Pemerintah Kolonial. Bupati dan pegawai bawahannya telah kehilangan posisi supremasinya. Kelompok pegawai secara formal ditransformasikan ke dalam korps birokrasi profesional, pamongpraja, yang dipekerjakan oleh negara dengan gaji dan pola promosi yang IGAJI BUPATI DI KERESIDENAN PRIANGAN PER TAHUN 1871-1895BUPATI GAJI f.TUNJANGAN f.PERSENTASE PENYERAHAN PRODUKSI KOPI f.Cianjur - - 390Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSumber Henry Charles van Meerten. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Groun, hlm. jumlah persentase itu sesuai dengan perbedaan hasil panen kopi di tiap kabupaten. Sementara itu, gaji untuk pejabat-pejabat di bawah bupati tampak dalam tabel IIGAJI PARA PEJABAT KABUPATENDI KERESIDENAN PRIANGANTAHUN 1871-1895PEGAWAI GAJI PER BULAN f.Patih 250Wedana 200Ondercollector 150 – 200Jaksa 150Hoofdpenghulu 135Assistant Wedana 100Mantri 25Juru tulis 15Sumber Martanegara. 1923. Babad Raden Adipati Aria Martanegara. Bandung Aoerora, p. ukuran kekuasaan pun tampak pada pejabat pengawasan supervision Pemerintah Kolonial pada semua level pejabat pribumi. Bupati, dan wakil patih ditempatkan di bawah pengawasan Residen Priangan yang berkedudukan di Bandung. Delapan asisten residen serta stafnya ditempatkan di wilayah-wilayah berpopulasi besar. Sepuluh orang kontroleur Belanda, dan kemudian juga sejumlah onder-controleurs, ditempatkan untuk mengawasi wedana dan camat Svensson, 1992 116. Sebaliknya, penguatan pegawai bumiputera yang paling bawah diciptakan. Urusan-urusan desa yang sebelumnya ditangani oleh wedana atau camat diambil alih oleh komunitas desa bentukan baru yang didisain mengikuti model di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiap desa, yang disusun oleh 3-5 kampung, diberi otonomi untuk mengurus persoalan internalnya sendiri yang dipimpin oleh lurah. Lurah diberi hak untuk menarik pajak dan pelayanan untuk kepentingan desa, memelihara hubungan dengan tingkat administrasi yang lebih dari sisi agama, Priangan merupakan keresidenan yang penduduknya sangat ketat dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Kewajiban-kewajiban Islam dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Islam sebagai agama resmi memberikan struktur moral bagi kehidupan sosial dan memainkan peran penting dalam kehidupan orang Sunda. Salah satu indikatornya adalah jumlah orang Priangan yang menunaikan kewajiban ibadah haji. Pada tahun 1876 – 1888 jumlah jamaah haji dari Priangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan keresidenan lain di Pulau Jawa. Jumlah jamaah haji dari Priangan adalah orang atau 22,1%. Jamaah haji secara keseluruhan dari Jawa pada periode tersebut adalah sebanyak orang Svensson, 1983 116. Selain menjadi indikator ekonomi, haji pun menjadi simbol “ketaatan“ beragama. Penguasa-penguasa Priangan sering menunjuk kerabatnya bukan untuk menduduki posisi di pamongpraja, tapi pada posisi berpengaruh dalam jabatan-jabatan keagamaan, seperti korp penghulu dan pelayan masjid Palmer, 1959 50. Selanjutnya di Priangan pejabat keagamaan memiliki peran penting dalam struktur pemerintahan pribumi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3912011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungPenghulu, pejabat tertinggi keagamaan, banyak diisi oleh kerabat bupati. Mereka adalah pemimpin sejumlah besar rakyat. Pertangungjawaban mereka sering melampaui persoalan keagamaan; mereka sering menangani persoalan hukum bersama-sama dengan polisi dan jaksa. Pejabat rendah keagamaan, seperti lebe, amil, khatib, imam memiliki hubungan yang dekat dengan penduduk desa. Hampir semua siklus kehidupan memiliki hubungan dan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Mulai dari peristiwa kelahiran, pernikahan, kematian hingga budaya pengurusan padi dan ritus kesuburan tanah dan tanaman, pejabat-pejabat keagamaan memiliki peran penting. Mereka juga mengawasi dan mengatur manajemen irigasi dalam mengairi sawah. Kontrol irigasi melegitimasi “kewajiban” keagama an dan membuat nya mudah dalam menetapkan besaran pemungutan zakat tanaman padi dan zakat fitrah. Svensson, 1992 111. Pada tahu 1870 pejabat keagamaan dicabut dari posisi strategisnya dalam pertanian. Mereka tidak boleh ikut campur terhadap masalah kehidupan keduniaan penduduk, seperti irigasi dan penanaman di luar pegawai pemerintah disebut somah commoners, yang kebanyakan dari mereka adalah petani. Mereka terdiri atas dua kelompok utama. Pertama adalah pribumi atau sederhananya disebut bumi. Bumi adalah penduduk inti kerndorpers yang merupakan orang pertama yang menduduki lahan, pemilik tanah yang mereka buka. Mereka juga memiliki rumah dan halamannya. Mereka memiliki hak waris atas tanah, yang secara prinsip dapat dibeli atau dijual. Tanah yang mereka miliki membuat mereka berkewajiban membayar pajak, mengerahkan buruh corvee-labour, dan menyerahkan kopi. Kelompok kedua adalah rumah tangga tidak memiliki tanah landless households. Mereka terdiri atas empat jenis yang berbeda. Pertama, manumpang, yang hanya memiliki rumah dan halamannya, tapi tidak memiliki tanah sawah atau kebun. Mereka bergantung pada rumah tangga bumi, bekerja sebagai penyewa tenants, bagi-hasil sharecroppers, atau sederhananya sebagai buruh tanam. Manumpang bisa menjadi bumi ketika mereka, berkat kerja kerasnya, memiliki tanah sendiri. Kedua, rahayat yan g dihubungkan dengan pelayanan kepada berbagai menak, tapi biasanya juga kepada rumah tangga bumi. Di samping berbagai pelayanan, mereka menanam tanah pemilik patronnya secara bagi-hasil. Ketiga, kostangers, orang yang memiliki rumah di tanah menak atau bumi. Mereka bekerja untuk pemilik tanah yang sering juga disebut juragan baas atau huisvester. Keempat, bujang orang yang merupakan buruh bebas yang mendapatkan kehidupannya dengan bekerja serabutan di berbagai bidang pertanian, pengangkutan, dan lain-lain. Yang penting bagi mereka adalah mendapatkan upah. Selain itu, terdapat sekelompok kecil pedagang small group of petty trader, yang sekaligus juga sebagai rumah tangga petani, artisan yang tinggal terutama di dekat perkampungan yang besar Van Vollenhoven, 1918 706-707; Svensson, 1992 112; Lubis, 1998 137.Pemilikan dan Penggunaan Tanah2. Desa memiliki dua sumber natural, yaitu tanah dan orang yang membuat tanah itu produktif. Bagi penduduk petani, 392Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah adalah segalanya. Tidak hanya memiliki nilai ekonomi, di mana tanah bisa ditanami berbagai jenis tanaman baik subsisten maupun komersial, tapi juga memiliki nilai kultural dan bahkan nilai sakralitas yang tinggi. Di sanalah mereka dilahirkan, dibesarkan, dan di tempat yang sama mereka ingin dikuburkan, tidak jauh dari pekuburan leluhur mereka. Bagi masyarakat petani, tana h pun meru pakan sumber utama produksi dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemilikan tanah membuat seseorang menempati prestise dan stratikasi sosial tinggi, dan pertanyaan bisa diajukan berkait dengan persoalan tanah di pedesaan Jawa pada abad ke-19, sehingga mengundang debat di antara para peneliti. Pokok perdebatan tentang hak atas tanah di Jawa adalah apakah pemilikan tanah itu terletak pada penguasa, atau pada badan pemilik yang mengumpulkan pajak dan menentukan kegunaan tanah, atau pada badan korporasi seperti dusun kecil hamlet atau desa village, atau pada individu petani penanam. Selain itu, ada persoalan lain seperti apakah pemilikan tanah di Jawa itu bersifat individual atau komunal; dan apakah pemilikan tanah dihubungkan dengan kewajiban buruh, corvee. Meskipun semua itu merupakan persoal a n pe n t i n g y a n g m e n u n t u t penjelasan, namun yang akan diberi perhatian khusus dalam tulisan ini adalah tentang persoalan hak atas tanah pada abad ke-19 di Jawa umumnya dan di Priangan khususnya. Beberapa peneliti yang memberi perhatian terhadap persoalan ini di antaranya adalah Bergsma 1876, 1880, 1896, Rouffaer 1899-1905, 1918, C. Th. van Deventer, Van den Berg 1891, C. van Vollenhoven 1919, Robert van Niel 1992, dan Peter Boomgaard 1989. Nyatanya, tidak ada pandangan yang disepakati secara umum tentang masalah abad ke-19, tidak jelas konsep pemilikan tanah di Jawa. Lebih dari itu, sebelum tahun 1860 tidak ada yang sungguh-sungguh diketahui tentang hak orang terhadap tanahnya van Vollenhoven. 1919 48. Hak atas tanah merupakan subjek yang sangat kompleks karena terdapat variasi regional dan te r d a p a t n y a problem terminologi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sesungguhnya, agak sulit menyederhanakan formulasi tentang sist e m pe m i l ikan tanah di se l uruh Jawa. Kesulitan itu muncul karena ada sejumlah variasi dalam model pemilikan tanah, yang merefleksikan keragaman penekanan dan beragamnya model-model lokal. Juga sering terjadi perubahan di tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu, adalah logis bila ditemukan beragam ilustrasi pada model pemilikan tanah yang digambarkan oleh administrasi kolonial dan para peneliti. Di beberapa wilayah, pembagian tanah ter j adi dari tah u n ke tahun kare n a penanam yang sama; pada sisi lain, pembagian tanah berotasi di antara penduduk desa berdasarkan aturan yang jelas, sehingga masing-masing dapat memiliki bagian tanah yang baik dan jelek; di wilayah lain lagi, ada alternatif dalam pembagian tanah, sehingga seorang penanam cultivator mungkin memiliki akses atas tanah pada satu tahun, tapi kehilangan tanah pada tahun berikutnya karena beralih kepada orang lain. Ditemukan juga di beberapa tempat pemilik tanah mendapatkan pembagian Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3932011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah yang lebih luas dan berkualitas daripada yang lainnya. Di tempat lain, tanah dibagi secara rata di antara mereka yang berhak mendapatkannya. Di beberapa tempat lagi, pejabat desa mendapatkan jumlah tanah yang luas yang penggarapannya diserahkan kepada penduduk desa melalui sistem bagi hasil; di tempat lainnya petani dapat menjual tanahnya Elson, 1994 18-19. Ketidaksamaan pemilikan tanah dan variasi model pengalihan hak atas tanah mendorong peneliti untuk membagi masyarakat desa dalam beberapa kelas, yang secara umum terdiri atas dua kelompok, yaitu pendiri desa, kepala keluarga, atau mereka yang mendapatkan haknya atas tanah, dan mereka yang bergantung pada mereka. Yang pertama adalah pemilik tanah, mereka dikenakan pajak dan pelayanan, dan yang kedua orang-orang membantu mereka Elson, 1994 167. Dalam ide yang sama, Van den Bosch menyatakan bahwa pemilikan tanah merupakan hak kelompok tertentu dari penduduk desa itu, dan dibagi secara tidak merata, sementara itu ada kelompok penduduk yang lain dikeluarkan dari seluruh kep emi lik an dan bebas dar i pemilik s um s i y a ng p al i ng k ua t didasarkan pada sumber tradisi, bahwa semua tanah milik penguasa. Sumber tradisional abad ke-16, naskah Carita Parahiyangan, misalnya, secara implisit menekankan bahwa semua tanah milik penguasa dan kerabatnya. Rakyat hanya memiliki hak guna atas tanah. Sebagai kompensasinya, mereka diwajibkan tiap tahunnya menyerahkan persembahan baik dalam bentuk barang atau dalam pentuk pelayanan. Meskipun tidak ada data rinci tentang hak atas tanah pada periode selanjutnya, namun ada kesan bahwa pada masa yang selanjutnya petani penanam yang secara aktual mengarap tanah dapat mengalihkan hak guna atas tanah itu kepada orang lain, biasanya kepada ahli warisnya. Realitas semacam itu menjadi alasan bagi peneliti Belanda menyatakan hukum adat Indonesia sampai pada asumsi bahwa di Priangan tanah merupakan hak milik individu yang bisa diwariskan individual hereditary right. Meskipun asumsi bahwa penguasa adalah pemilik sejati atas semua tanah adalah semata-mata bersifat teoretis, tapi yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa penguasa berhak atas bagian dari hasil tanah, baik dalam bentuk uang, barang, atau tenaga. Sumber utama pendapatan penguasa datang dari tanah yang ditanami. Singkatnya, dikatakan bahw a pen guasa meru pakan pemi lik semua tanah yang darinya ia memperolah hasilnya dan pelayanan tenaga kerja. Mengidentifikasi pemilikan atas tanah dianggap penting pada pertengahan abad ke-19 ketika kapitalisme Belanda mengembangkan tahap di mana industrialisasi dapat dikerjakan di tanah jajahan. Fisibilitas itu sebagian didukung oleh pasar dunia atas produk-produk daerah tropis yang mengalami booming, sehingga di Negeri Belanda muncul tekanan dari kelompok Liberal untuk menghapuskan sistem lama. Manajemen kolonial konservatif yang berlaku sepanjang Sistem Tanam Paksa diganti dengan kolonisasi Jawa oleh penanam swasta private planters, yaitu mengubah kebijakan kolonial dengan menempatkan perkebunan swasta sebagai inti manajemen atas Jawa. Kelompok Liberal menuntut aturan hukum dalam kebijakan tanah, sehingga penanam swasta diberi 394Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkebebasan menggunakan tanah diakui sebagai pemilik tanah, penggarap tanah orang pribumi bisa menjual atau menyewakannya, dan di tanah milik negara atau tanah liar pengusaha swasta diizikan untuk menggunakannya dalam waktu yang cukup lama dengan cara menyewa erfpacht. Kelompok Konservatif menolak usulan itu dengan beberapa alasan hak orang Indonesia atas tanah adalah di bawah pribumi, komunal dan hukum adat, sehingga tidak cocok digunakan konsep pemilikan seperti dipahami di Barat modern Kano, 1977 4-5. Untuk mengakhiri kontroversi itu dan melahirkan kebijakan yang memuaskan kedua pihak, Liberal dan Konservatif, dianggap perlu meneliti dan menemukan hak yang benar yang secara aktual dipraktikkan oleh orang Indonesia atas tanahnya1 Berdasarkan hasil survey itu beberapa informasi tentang bentuk penggunaan tanah yang dapat ditanami arable land dan pemilikannya dapat jelas diketahui. Tanah yang dapat ditanami terdiri atas dua bagian sawah paddy elds dan ladang dry elds; sedangkan yang berkait dengan kepemilikan, sawah terdiri atas tiga bentuk, yaitu milik individu yang bisa diwariskan heritable individual possession, erfelijk individueel bezit, milik komunal communal possession, gemeen bezit, dan tanah jabatan salary fields for officials, ambtsvelden; sementara tanah kering 1 Survey ini dilakukan atas perintah Raja yang dituangkan dalam the King’s Proclamation of 1866 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bertururt-turut dikeluarkan dua undang-undang East India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. Bentuk pertama, pemilikan sawah, adalah pemilikan individual yang bisa diwariskan, yaitu bentuk tanah di mana individu tertentu menggarapnya secara terus-menerus; ia dapat memindahtangankan tanah itu kepada ahli warisnya atau kepada orang lain. Prinsipnya adalah semua anak memiliki hak atas sebagian tanah itu sebagai warisan, sehingga dengan demikian tanah bisa terbagi-bagi menjadi sangat sempit extremely small parcels Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Sangat tipikal, tanah itu dapat dengan bebas pindah kepemilikan baik karena dijual, disewakan, atau digadaikan. Istilah pribumi atas tanah yang dapat disewakan heritable individual possession adalah dalam bahasa Jawa umumnya disebut jasa. Di Jawa Barat, khususnya Priangan disebut Jasa mengacu pada hak yang diperoleh karena jasa. Dengan kata lain, istilah jasa mencakup tiga konsep pengerjaan membuka tanah liar laboring to clear waste land, pihak yang secara aktual mengontrol dan menggarap tanah, dan hak penggarap atas tanah dengan tanpa pemisahan makna di antara kedua hal itu. Sementara itu, istilah milik berarti lebih dekat dengan konsep modern tentang pemilikan. Dalam beberapa kasus, pemilik adalah orang yang secara aktual membuka tanah untuk ditanami. Tanah itu dimiliki 2 Dalam bahasa Jawa, jasa secara etimologis berarti ”everything that is obtained by the effort of individuals who bring waste land under cultivation“; sementara milik, berasal dari bahasa Arab milk, dalam bahasa Sunda digunakan dalam pengertian “to possess”, atau “to be made one’s own”, lihat Eindresume II, hal. 44.; Hiroyoshi Kano, op. cit., hal. 12.dry elds hampir selalu dianggap milik pribadi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3952011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungoleh orang yang membukanya. Jadi, pemilikan individu yang bisa diwariskan the heritable individual possession adalah hanya hak pemilik atas tanah didasarkan atas kontrol aktual. Model kepemilikan individual seperti itu sudah lama berlangsung di Priangan. Pemilik tanah individual dapat menggarap sendiri tanahnya, atau menyewakannya kepada orang lain secara bagi hasil Boomgaard & van Zanden. 1990 22.Dari total 105 desa yang disurvey di Priangan, 101 desa di antaranya atau 96% merupakan tanah sawah yang merupakan hak milik. Bila dibandingkan dengan keresidenan lain di Jawa, pada saat yang sama, di Keresidenan Semarang total sawah milik individu hanya 10% dan di Keresidenan Surabaya adalah 39%. 3 Menarik diketahui alasan mengapa di Priangan hak individu atas tanah sangat dominan. Apakah karena pengaruh Islam yang cukup kuat. Bukan tempatnya di sini untuk mengeksplorasi apakah hak individu yang dominan di Priangan memiliki kaitan dengan kuatnya pengaruh Islam. Namun demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara hak penguasa lokal atas tanah dan atas upeti sudah terbangun, dan hak atas tanah diabadikan dalam bentuk yang lebih kuat. Di bagian lain di Nusantara, termasuk Priangan, pengaruh Islam lebih kuat dan dapat menjadi instrumen dalam perluasan hak individual Einsresume II 44-45.Bentuk yang kedua, pemilikan secara komunal, adalah bentuk di mana seorang individu menggunakan tanah tertentu yang hanya bagian tanah komunal desa, sehingga individu tidak berhak memindahtangankan tanah itu. 3 Dihitung dari Eindresume I, bijlage pemilikan ini memiliki dua tipe, distribusi periodik dan non-periodik. Distribusi periodik adalah kepala desa dapat mendistribusikan tanah itu tiap tahun di antara penduduk desa yang berhak mendapat bagian tanah itu. Distribusi non-periodik adalah tanah yang dimiliki secara komunal dapat juga dikuasai di bawah sistem pembagian yang ditetapkan, tapi pemilik tidak dapat menjual atau memberikannya kepada pihak lain Boomgaard & van Zanden, 1990. Dari total desa di Priangan yang disurvey, tidak ada sama sekali tanah komunal,4 sedangkan di Semarang dan Surabaya terdapat 90% dan 70% tanah Jenis pemilikan komunal ini merupakan bentuk umum yang berlaku di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Di Jawa Tengah pemilikan semacam ini ada dua jenis, yaitu di keresidenan sebelah timur umumnya tanah komunal periodik, sedangkan di keresidenan sebelah barat umumnya tanah komunal yang ditetapkan xed Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Di beberapa daerah di Jawa Tengah bagian selatan sistem yang khusus berlaku, karena, pertama semua tanah miliki penguasa sultan dan sunan, yang selama berabad-abad memberikan garapan tanah, apanage, kepada pegawai dan kerabatnya; kedua, petani kehilangan hak permanen dan hanya menggarap tanah penguasa berdasarkan peraturan share-cropping, dan pengawasan serta pengumpul hasil 4 Di tempat lain di Jawa Barat, terutama di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah, jenis tanah komunal terdapat juga, seperti di Ciamis, Kuningan, Cire-bon, Indramayu, dan Majalengka; lihat Edi S. Ekadjati, 1995 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. 396Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungpanen langsung dilakukan oleh pihak penguasa Svensson, 1983 85. Komunalisasi tanah secara sistematis mendapat perhatian Pemerintah Kolonial karena berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang melekat pada penggarap tanah. Penggarap aktual atas tanah memiliki kewajiban untuk menyerahkan pajak dan pelayanan. Pada masa pemerintahan Interregnum Inggris, dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda, ide bahwa sawah adalah milik komunal tidak hanya sesuai dengan ide mereka tentang “negara adalah pemilik sejati atas tanah”, tapi juga bersesuaian dengan keinginan mereka untuk memelihara dan menjaga pemungutan sewa tanah Land Rent dan distribusi tenaga buruh sesederhana pemerintah terhadap klaim bahwa seluruh tanah adalah milik negara dinyatakan pada, paling tidak, tiga aturan perundang-undangan. Klaim seperti itu membuat pemerintah memiliki otoritas untuk mengatur distribusi tanah baik komunal maupun individual. Dalam ayat 74 Undang-Undang Tahun 1830 dikatakan bahwa “the lands of the island of Java, which are still owned by the government, shall, insofar as they are cultivated by the Javanese, be permanently leased to the native people”. Pernyataan yang sama dinyatakan pada ayat 62 Undang-Undang Tahun 1836 tahun 1854 bahwa “lands cultivated by the Javanese, with the exception of the so-called Private Estates, were the property of the state”. Begitu juga dalam Undang-Undang Agraria Tahun 1870 disebutkan bahwa “the Government as the lawful successor of the native rulers is, according to custom, the supreme proprietor of all lands, cultivated or not” Boomgaard and van Zanden, 1990 22; Fasseur, 1992 30-31. Pernyataan-pernyataan undang-undang tadi menjadi dasar bagi pemerintah untuk menarik pajak dari tanah jabatan ambtsvelden adalah tanah sawah yang diberikan kepada pejabat, baik pemimpin pribumi seperti bupati dan kepala distrik maupun kepala desa atau pegawai desa. Tanah jabatan lungguh dan bengkok dalam bahasa Jawa, atau carik dalam bahasa Sunda kepala desa atau pejabat di bawahnya ditemukan di hampir seluruh desa di Keresidenan Cirebon, di seluruh keresidenan di Jawa Tengah, di seluruh keresidenan di sebelah barat Pasuruan di Jawa Timur. Namun, di empat keresidenan di Jawa Barat, kecuali Cirebon, dan seluruh keresidenan sebelah timur Probolinggo di Jawa Timur tidak seluruh desa memiliki tanah jabatan. Dari total desa di Priangan yang disurvey hanya ditemukan 5% tanah jabatan, sedangkan di Semarang 84% dan Surabaya 77%.6 Distribusi tanah jabatan hampir bersesuaian dengan pemilikan tanah komunal. Di hampir seluruh desa yang berlaku pemilikan tanah komunal, jenis pemilikan tanah jabatan pun berlaku luas. Pemilikan tanah individual, kumunal, dan jabatan hanya berlaku untuk tanah sawah; sedangkan tanah kering seperti tipar, huma, halaman, kebun hampir merup aka n h ak milik pribadi. Dalam kasus Priangan, dari 105 desa yang disurvey terdapat hanya 15 desa tanpa tanah kering. Jadi, 90 desa 6 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3972011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungmemiliki lahan kering, dan semuanya merupakan hak milik hasil survey yang disponsori oleh pemerintah itu relatif sama dengan survey yang dilakukan oleh para peneliti. Van Deventer, misalnya, mengatakan bahwa selama masa VOC, kemudian Pemerintah Hindia Belanda, raja-raja Jawa adalah pemilik semua tanah. Hak yang dialihkan kepada Kompeni maupun Pemerintah Hindia Belanda merupakan akibat dari perjanjian-perjanjian dan perebutan seizures. Pandangan seperti itu diterapkan juga oleh Pemerintah Interim Inggris 1811-1816, sehingga pajak atas tanah diterapkan land rent/landrente Bomgaarod & van Zanden, 1990 21. C. van Vollenhoven menegaskan bahwa desa Jawa merupakan pusat area kontrol petani agrarische beschikkingskring. Termasuk dalam hak kontrol desa adalah hak milik atas tanah penduduk pribumi tertentu secara individu. Hak ini didasarkan pada pembuka pertama tanah rst reclamation of the land dan bisa mewariskan serta tanah, dikaitkan dengan kepentingan rumah tangga petani, terdiri atas tiga kategori utama, yaitu tanah yang dapat ditanami arable, tanah yang sudah ditanami cultivated, dan tanah liar wasteland.8 Namun, di antara 7 Eindresume, I, bijlage A, pp. 6-10; Di tanah kering tidak dimasukkan kopi dan kebun Sumber-sumber arsip, khususnya Pri-angan, membagi kegunaan tanah ke dalam 10 kategoriyaitu halaman, sa-wah, tegal, kolam vischvijver, hutan nipah nipa boschen, kebun sirih sirih tuinen, kebun kelapa klapper tuinen, kebun bambu bamboo tuinen, kebun lainnya, dan kopi; lihat Preanger 6/12, yang tiga itu, tanah yang dapat ditanami arable land yang sangat problematik; karena ia sangat dekat dengan kebutuhan hidup petani dan pada saat yang sama sangat berkaitan dengan proyek-proyek pertanian kolonial. Arable land sendiri terdiri atas sawah dan tanah kering. Tingkat ketersediaan air berpengaruh terhadap tipe sawah. Pada abad ke-19 tidak kurang dari 9 kategori sawah, yaitu sawah loh1. , sawah dengan suplai air yang mengalir,sawah cengkar2. gares, tanah yang kurang subur karena kurang suplai air,sawah3. rawa, sawah di tanah berpaya-paya,sawah4. banarawa, sawah di tanah berpaya yang biasa mengering bila musim kemarau,sawah5. ilir, sawah dengan suplai air sepanjang waktu,sawah6. tadah hujan, sawah yang hanya berair di musim hujan,sawah7. buntar, sawah yang sangat jauh dari sumber air,sawah8. tumpang, sawah yang terletak pada sumber air Bottema, 1995 51. Klasifikasi di atas meliputi tiga situasi yang berbeda secara esensial, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan rain-fed sawah dan saw ah berpaya swampy sawah. Sementara itu, tanah kering memiliki dua kategori, yaitu tipar dan huma tegal dan gaga, bahasa Jawa. Jenis tanah yang ditanami cultivated area , t ap i t i d a k dikelompokkan sebagai arable land, terdiri atas dua jenis yaitu kebon Algemeen Verslag 1876. 398Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandunggarden atau orchard dan pakarangan compounds.Tanah liar, termasuk hutan, adalah penting bagi kehidupan ekonomi petani. Hutan dipenuhi banyak jenis pohon yang menyediakan tidak hanya bahan makanan dan minuman tapi juga untuk yang lainnya, seperti rotan, bahan-bahan untuk tenun, pohon aren, lontar, gebang, alang-alang, dan tahun 1876 proporsi penggunaan tanah di Priangan di luar tanah liar secara umum adalah sebagai berikut halaman compound 5,35%, sawah 56,95%, tanah kering tegal 28,39%, kebun 9,31%. Termasuk ke dalam sawah adalah sawah irigasi, tadah hujan dan berpaya; dan kebun di sini termasuk kolam ikan shpond, kebun nipah, kebun sirih, kebun kelapa, kebun bambu, kebun kopi, dan Dalam hal penggunaan tanah yang ditanami padi di tiap-tiap kabupaten di Keresidenan Priangan secara umum diperoleh gambaran sebagai berikut. Kabupaten Bandung seluas bau, Sukapura bau, dan Cianjur bau. Namun demikian, berdasarkan pada kategori arable land, sawah irigasi lebih banyak ditemukan di Kabupaten Bandung, yaitu seluas bau, sawah tadah hujan di Kabupaten Sukapura seluas bau, sawah berpaya di Kabupaten Sumedang seluas bau, dan tegal di Kabupaten Sukapura seluas bau Preanger 6/12, 1876. Dari waktu ke waktu luas tanah yang dimanfaatkan selalu berubah berkaitan dengan perubahan fungsi dan 9 Kebun kopi di sini di luar tanaman kopi pemerintah; artinya kopi ditanam oleh petani pada tanah miliknya sendiri ber-dasarkan keinginan mereka. reklamasi tanah baru, baik sawah maupun tanah kering. Dibandingkan luas total tiap kabupaten dengan luas tanah yang ditanami dapat ditemukan sisa tanah yang termasuk tanah yang digunakan untuk menanam tanaman TABEL IIIPEMANFAATAN TANAH DI PRIANGAN 1878Catatan* tidak termasuk gunung dan sungai. Data diolah dari Priangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. **Data diolah dari Algemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RI.*** termasuk tanah yang digunakan untuk tanaman kopi, teh, dan tanah terdapat data kuantitatif tentang tanah milik individu dan berapa luasnya. Namun demikian diasumsikan bahwa ada dua titik ekstrem pemilik tanah, yaitu tuan tanah landlords dan tidak memiliki tanah landless. Di antara dua titik ekstrem itu terdapat pemilik 10 Administrasi kolonial, yang biasanya melalui the Cultivation Reports menye-diakan data yang lengkap untuk tana-man tebu dan indigo, tidak pernah me-nyebutkan berapa luas bau tanah yang digunakan untuk tanaman TOTAL*TANAH DIGUNAKAN UNTUK**bau SISA***bau1Halaman Sawah Tegal Kebun SubtotalBandung 965 64562 393 33661 116 984 11690 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3992011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah dengan luasan yang bervariasi yang umumnya tidak terlalu PENUTUPPriangan abad ke-19 bukan lagi issue lokal, tapi sudah masuk orbit persoalan regional, bahkan internasional. Semua itu terjadi karena komoditas yang dihasilkan Priangan yang laku di pasar internasional. Nila, kopi, teh, dan kina merupakan empat produk unggulan yang berasal dari Priangan pada abad ke-19, di samping produk lainnya yang masuk kategori bukan produk unggulan minor crops, seperti katun, murbai sutra, cengkih, lada, tembakau, dan sebagainya. Optimasi produk komoditas itu sangat mungkin terjadi berkat rekayasa pemerintah kolonial terhadap aspek sosial, politik, dan pertanahan di wilayah Keresidenan Priangan dan di daerah-daerah SUMBERAlgemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RIBersma. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. 3 volumes Batavia 1876. 1880. 1896. Boomgaard. Peter. 1989. Between Sovereign Domain and Servile Tenure The Development of Rights to Land in Java 1780-1870. Amsterdam Free University P. & van Zanden. 1990. “Food Crops and Arable Lands. Java 1815-1942”. in Changing Economy Indonesia. vol. 10. Amsterdam Royal Tropical Institute. Bottema. Jan Willem Tako. 1995. Market Formation and Agriculture in Indonesia from the Mid 19th Century to 1990. Doctor Dissertation at the Katholieke Universiteit Nijmigen. Jakarta Drukkerij Desa India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. specifying details. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. Zamengesteld door den Chef der Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie. Eerste Gedeelte. Batavia – Ernst & Co.. 1876. bijlage A. Ekadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka Locher-Scolten. 2000. “De kolonie verhouding in de 19e en 20e eeuw“. Spiegel historical. Vol. 35. no. 11-12; hlm. 1994. Village Java under the Cultivation System 1830-1870. Sydney Allen and Unwin. 400Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungEncyclopadie van Nederlandsch-Oost Indie. 1st edition. vol. 3. hlm. Vincent. 1999.“Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state”. in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history of Indonesia. 1800-2000. Penultimate Draft. Passau; hlm. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo- Japan Insitute of Developing Economies. Kartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung Pusat Informasi Kebudayaan 1923. Bab a d R ade n A d i pat i A r i a Martanegara. Bandung “Maten en Gewichten van Nederlandsch Oost-Indie“. Handboek voor Cultuur en Handels-Ondernemingen in Nederlandsch Indie. 1914. ”Oekoeran dan Takaran. Timbangan. Mata Oeang“. Taman Pangajar. Pijper. 1977. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950 terjemahan. Jakarta Universitas IndonesiaPriangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. Preanger 6/12. 1876Rouffaer. 1899-1905. “Vorstenlanden” in Encyclopaedie van Nederlandch-Indie. vol. IV. ’s-Gravenhage/Leiden. hlm. 1918. “De agrarisch rechtstoestand der inlandsche bevolking op Java en Madoera.” BKI 74 1918. hlm. 305-98; Svensson. Thommy. 1983. “Peasants and Politics in Early Twentieth-Century West Java”. in Thommy Svensson and Per Sorensen eds.. Indonesia and Malays; Scandinavian Studies in Contemporary Society. London and Mamo Curzon Press. hlm. Thommy. 1992.“State Bureaucracy and Capitalism in Rural West Java in the 19th and 20th Century”. in Bernhard Dahm ed. Regions and Regional Developments in the Malay-Indonesian World. Th. V. 4. 15 October 1903. hlm. Leslie H. status and power in Java. New York Humanities Otto Harrassowitz; hlm. den Bosch. „Verslag mijner verrigtingen“. hlm. 423 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.4012011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungvan den Berg. “Het eigendomsrecht van den staat opden grond op Java en Madoera”. BKI 40 1891. hlm. 1-26; van Meerten. Henry Charles. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Niel. Robert. 1992.„Rights to Land in Java“. in Robert van Java under the Cultivation System; Collected Writing. Leiden KITLV Press. hlm. Rees. 1869 Rees. Otto van. 1869. Overzigt van de geschiedenis der Preanger regentschappen. Batavia Vollenhoven. C. 1919. De Indonesier en zijn Grond. Leiden Brill;Zakaria, Mumuh Muhsin. 2010. Priangan Abad ke-19 dalam Arus Dinamika Sosial-Ekonomi. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Bandung Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ... Dengan semangat interseksionalitas dalam feminisme, pemikiran dan gerakan para "feminis lokal" ini perlu disuarakan kembali demi mencapai feminisme yang relevan bagi setiap perempuan dalam bentang geografi politik tertentu. Penelitian etnografi pada tahapan akhir akan melalui suatu proses evaluasi, yang pertimbangannya didasarkan pada kontribusi substansial penelitian, tingkat estetika penulisan, tingkat faktualitas dan dampak yang bisa diberikan Spradley, 1979Spradley, , 1980 Perhatian ini tidak terlepas dari posisi Cianjur yang ketika itu merupakan pemasok salah satu komoditas kopi nomor satu di Jawa Barat 11 Zakaria, 2011c Breman, 2014;Herlina et al., 2018;Lasmiyati, 2015. 22 Uga merupakan suatu tradisi lisan di kalangan orang Sunda yang dipercaya sebagai "bisikan gaib" dari para karuhun nenek moyang, yang mana biasanya muncul ketika terdapat perubahan-perubahan tertentu di kalangan orang Sunda a new life movement. ... Muhamad AlnozaRaden Ayu Tjitjih Wiarsih, also known as Juag Tjitjih, was a figure in the early 20th century women's movement from Cianjur Regency, West Java. The existence of this character in Cianjur cannot be separated from a cultural heritage building called Bumi Ageung, where this house is the residence of Juag Tjitjih and her family and descendants. This research is generally carried out to answer problems, regarding the form of collective memory that is still being taught by the inhabitants of Bumi Ageung regarding Juag Tjitjih. The problem of this research is also related to other problems that are trying to be answered, namely regarding the background of the formation of the collective memory of Juag Tjitjih so that it is shaped in such a way. The main objective of this research is to find out how the leaders of the women's movement in Tatar Sunda are remembered by the community, in this case one of them is Juag Tjitjih. This study thus uses a qualitative method, in which the data collection method is carried out by participant observation and indepth interviews. At the analysis stage, this study adopts the deconstruction analysis method initiated by Jacques Derrida. The research ultimately found that Juag Tjitjih was remembered as a different figure from mainstream identity in Tatar Sunda in the 20th century. This negation between Juag Tjitjih and the soul of the Cianjur people's era is seen as having several paradoxical aspects in the narration, so that it is suspected that there has been a phenomenon called by Eric Hobsbawm as the invention of tradition. Mumuh Muhsin ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan moment penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Hal tersebut tidak serta-merta mematikan aktivitas perekonomian dan pertanian subsitem penduduk Priangan. Malah yang terjadi adalah hubungan komplementer antar-keduanya. Hal ini dimungkinkan selain karena faktor geografis-ekologis yang kondusif juga karena jenis tanaman yang diusahakan dan jenis tanah yang digunakan tidak menyaingi sektor ekonomi pertanian. Peran elit lokal sangat besar dalam menciptakan keseimbangan dan harmonisasi relasi antar penduduk pribumi, pemerintah kolonial, dan elit lokal sendiri yang pada gilirannya berpengaruh terhadap peningkatan produk dan terciptanya suasana aman. Fakta historis yang ditemukan di Priangan menjadi indikator penting yang menjelaskan derajat relatif kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian yang saya lakukan ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kata Kunci Sejarah, Priangan, Ekonomi, van der KraanR. E. ElsonPart 1 The social and economic context peasant society and economy in early 19th-century Java changing state, changing village. Part 2 The elements of the cultivation system the introduction and consolidation of the cultivation system crisis in the cultivation system reform and decline. Part 3 The cultivation system and social change the transformation of village institutions changing labour relations domestic cropping under the cultivation system trade and industry population growth and movement prosperity, poverty and Sunda Suatu Pendekatan SejarahEdi S EkadjatiEkadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i aHoubenJ H VincentHouben. Vincent. 1999. "Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i a. 1 8 0 0 -2 0 0 0. Penultimate Draft. Passau; hlm. Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century JavaKanoHiroyoshiKano. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo-Japan I n s i t u t e o f D e v e l o p i n g Adil. Jakarta Sinar HarapanKartodirdjoSartonoKartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Harapan. Kali ini saya akan memposting aartikel tugas kuliah semester 2 pada mata kuliah struktur masyarakat Jawanmengenai perubahan yang ada di masyarakat Jawa Yuk, langsung saja membaca dan memahami isi artkel dibawah ini Jawa merupakan sebuah pulau yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat tinggi, sehingga tak heran jika berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia sangat antusias untuk datang ke pulau jawa dengan tujuan dapat ikut menikmati hasil pertanian dari tanah yang sangat subur atau sering disebut oleh orang jawa dengan sebuah istilah “gemah ripah loh jinawi”. Di pulau Jawa berbagai jenis tanaman dan tumbuhan dapat ditanam dan mudah untuk ditemukan, hal ini ditentukan oleh tekstur tanah dipulau jawa yang tergolong sangat subur sehingga kekayaan alam yang dimiliki pulau Jawa sangat menarik perhatian bangsa penjajah untuk berusaha ikut menikmati bahkan mereka berkeinginan untuk memilki dan memonopoli semua hasil kekayaan alam yang ada di pulau Jawa. Salah satu bangsa yang ingin menjajah hasil bumi orang jawa yaitu bangsa eropa, kedatangan bangsa eropa di Jawa menyebabkan bertemunya dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan Timur dan Barat yang mempunyai struktur sosial berlainan. Akibat pertemuan dua bangsa itu kebudayaan terkena pengaruh kebudayaan Barat yang sangat besar. Bangsa Eropa atau yang sering disebut dengan Kompeni Hindia Timur mula-mula hanya ingin menguasai perdagangan hasil bumi dan bukan politik. Namun dalam upaya mengamankan kepentingan ekonominya, kompeni terlibat dalam kesukaran dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Maka dari itu kompeni mampu menguasai daerah-daerah di sepanjang pesisir utara pulau jawa. Dengan demikian sistem pemerintahan kerajaan sepenuhnya berada ditangan kompeni, yang kemudian bupati tidak lagi dipilih secara langsung oleh raja tapi dipilih oleh kompeni dan penyerahan hasil bumi yang wajib dapat ditagih langsung dari bupati. Penyerahan hasil bumi yang wajib dilaksanakan tersebut diberlakukan secara sistem foedal. Akibat dari adanya sistem ini adalah kesejahteraan rakyat yang rendah. Oleh karena itu, masyarakat dipulau jawa mengalami perubahan-perubahan sosial yang merupakan pengaruh dari adanya pertemuan budaya barat dan timur yang terjadi pada saat itu hingga saat ini pengaruh budaya barat terhadap masyarakat jawa semakin tinggi. Bangsa kompeni menerapkan berbagai monopoli pertanian terhadap masyarakat jawa antara lain “tata bumi” pada saat mas pemerintahan Raffles dari Inggris. Kemudian dalam pemerintahan Van Den Bosch ia menerapkan sistem “tanam paksa” yang menghendaki agar penduduk jawa tetap menjadi petani. Sistem tanam paksa telah membawa pengaruh modernisasi yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan sosial terhadap masyarakat adanya sistem monopoli yang diterapkan oleh bangsa kompeni tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sosial didalam masyarakat jawa diantaranya yaitu munculnya diferensiasi sosial dan sistem kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi adalah munculnya 1 golongan petani kaya-pemilik tanah lapisan atas, yang berhak mendapatkan tenaga kerja cuma-cuma; 2 petani bebas yang diharuskan kerja wajib; dan 3 golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah. Diferensiasi yang terjadi ini mengakibatkan pola atau sistem ekonomi pertanian masyarakat Jawa juga berubah. Dalam relasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara kaum pemilik tanah modal dengan tenaga kerja buruh tani. Para petani dengan modal tanah yang dimiliki membutuhkan tenaga kerja untuk menggarap lahannya. Sedangkan, para petani buruh tergantung pada para pemilik tanah untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual tenaga kerjanya. Dengan demikian Jawa mulai memasuki era kapitalisme. Dinamika khas dari kapitalisme adalah persaingan dan perolehan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa mengawali munculnya sistem kapitalisme pertanian yang ada di Jawa. Diferensiasi sosial semakin lebih besar ketika dilaksanakannya sistem tanam paksa. Ketentuan dalam sistem tanam paksa membuat posisi pejabat pedesaan semakin kuat posisinya. Kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar. Seperti diketahui para kepala desa maupun anggota pemerintahan desa lainnya mendapatkan tanah bengkok yang luas dan subur dan dibebaskan dari kerja rodi. Pengertian Perubahan Sosial dikemukakan oleh Gillin dan Gillin yang mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat Soekanto, 2006263. Dari pengertian perubahan sosial yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin ini menunjuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, yang berarti dalam penjabaran kali ini aspek sosial tersebut yang menyebabkan perubahan kelas sosial didalam bidang pertanian masyarakat jawa. Perubahan sosial adalah suatu pergeseran dalam ciri kebudayaan dan masyarakat. Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Perubahan sosial pada masa tertentu juga merupakan pengaruh dari peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun atau zaman sebelumnya. Di Jawa sebenarnya yang terjadi adalah proses evolusi pertanian dengan ditandainya diferensiasi sosial yang terjadi. Hal ini nampak dalam pola perekonomian masyarakat yang tradisional-homogen ke bentuk kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi di Jawa juga menjadi penanda adanya perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Modernisasi yang terjadi di Jawa tentu tak lepas dari proses penemuan teknologi pertanian yang membuat proses produksi makin efisien. Modernisasi pertanian di Jawa yang ditampakkan dalam program revolusi hijau, membawa pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat bagi petani yang memiliki banyak tanah karena sasaran dari moderninasi hanya petani kaya yang memiliki tanah. Hal ini semakin memperbesar terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa. Selain itu penciptaan sosial, dalam hal ini kapitalisme, juga terjadi di Jawa. Kapitalisme membuat pola dan sistem pertanian berubah dari sistem tradisional-homogen kebersamaan sosial dan ekonomi ke sistem pemilikan tanah secara pribadi yang memunculkan kelompok golongan petani atas dan proletar petani tak bertanah. Selain membahas perubahan kelas sosial dalam bidang kepemilikan tanah setelah ini penulis juga akan membahas perubahan sosial dalam aspek adat dan sopan santun yang tergambarkan pada penggunaan bahasa jawa dalam masyarakat sopan santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Adat ini berhubungan dengan etika dan tatakrama Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering didengar dan digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan pengguna bahasa Jawa tersebut. Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa yang tertinggi salah satunya adalah bahasa Jawa Kromo Inggil. Tingkatan ini biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, misalnya seorang anak ke orang tuanya. Bahasa Jawa Kromo Inggil digunakan dengan tujuan untuk menghormati orang yang lebih tua. Namun penggunaan bahasa jawa khususnya bahasa krama inggil telah mengalami perubahan dari tuntutan etika masyarakat jawa, pada sat ini telah banyak ditemukan anak muda yang berkomunikasi tidak mengguanakan bahasa jawa krama inggil dengan orang yang usianya lebih tua. Bahkan pada saat ini jarang sekali anak-anak yang berkomunikasi dengan orang tua mereka menggunakan bahasa krama inggil, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut karena adanya pergeseran nilai yang diajarkan orang tua terhadap anak tersebut. Para orang tua jawa jaman sekarang sudah jarang yang menanamkan nilai adat kesopanan yang sepantasnya dimiliki oleh orang jawa yang penggunaan bahasa krama inggil diterapkan dalam percakapan sehari-hari antara seorang anak dengan orang tua, sehingga nilai tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki anak tersebut ketika berkomunikasi dengan orang yang memiliki usia lebih tua. Selain itu faktor yang mempengaruhi yaitu adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat yang membawa dampak buruk terhadap anak-anak jaman sekarang yang belum mampu memfilter berbagai informasi yang seharusnya ditiru dan mana yang tidak pantas untuk ditiru. Dalam perubahan sosial yang berkaitan dengan sopan santun khususnya penggunaan bahasa tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan formal yang saat ini sebagian besar lembaga pendidikan formal dipulau Jawa telah menerapkan penggunaan bahasa nasional bahkan ada beberapa lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan bahasa internasional yaitu bahasa inggris sebagai bahasa pengantar mereka didalam media pembelajaran. Lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan penggunaan bahasa nasional maupun internasional tersebut biasanya kemudian mengenyampingkan atau bahkan melupakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Jawa. Saat ini sudah banyak ditemukan lembaga pendidikan yang menghilangkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa untuk menjadi mata pelajaran yang seharusnya dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Apalagi pada saat ini adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan para siswa untuk mempelajari bahasa internasional agar nantinya para pelajar tersebut dapat bersaing didalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean atau yang sering kita dengar dengan sebutan MEA. Hal tersebut tentunya akan mendesak berkurangnya penggunaan dan pengajaran bahasa Jawa didalam lingkungan pendidikan formal. Sehingga masyarakat jawa pada saat ini sudah jarang yang menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa yang sesuai didalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan Sosial dalam masyarakat Jawa yang selanjutnya adalah adanya perubahan Pola perilaku dan pola pikir yang sudah memiliki perubahan yang cukup signifikan antara pola pikir dan pola perilaku yang dimiliki masyarakat Jawa dahulu dengan masyarakat Jawa saat ini. Faktor yang paling berpengaruh dengan adanya perubahan ini adalah faktor teknologi dan masuknya budaya asing mampu merubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Jawa khususnya bagi para remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Mereka cenderung akan mengikuti berbagai trend yang sedang berkembang tanpa berpikir dampak negatif yang diperoleh dari adanya trend gaya hidup baru tersebut. Anak remaja sekarang memilki pola pikir dan pola perilaku kalau tidak mengikuti mode sekarang adalah remaja kuno, namun pemikiran mereka dan kelakuannya tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan pola pikir dan perilaku seperti ini sering kita temukan dalam kehidupan remaja yang tinggal didaerah perkotaan atau lebih tepatnya kota metropolitan. Karena pada kota metropolitan memiliki tingkat keberagaman masyarakat atau heterogenitas yang sangat tinggi. Mereka berasal dari berbagai kebudayaan yang berbeda dan pastinya telah memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri dan telah menjadi pola pikir dan perilaku mereka. Namun kebudayaan tersebut nantinya juga akan mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk meniru pola pikir dan perilaku yang menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa merupakan trend gaya hidup yang terbaru. Sehingga pola pikir dan perilaku tentang trend gaya hidup akan berkembang sangat cepat mempengaruhi didalam kehidupan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan khususunya masyarakat yang tinggaldi kota metropolitan. Kesimpulan Dari beberapa aspek yang saya ambil contoh untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat jawa tersebut,dapat disimpulkan bahwa Perubahan Sosial adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang berbeda yang menghasilkan pola kehidupan yang kurang serasi dan kurang seimbang. Suatu proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat khususnya masyarakat jawa terdapat berbagai faktor yang mendorong jalannya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain Kontak dengan kebudayaan lain. Sistem Pendidikan Formal yang maju Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang Penduduk yang heterogen Sistem terbuka yang memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. kemajuan IPTEK DAFTAR PUSTAKA Sosrodihardjo Soedjito. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta Bhratara Karya Aksara Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Satu Pengantar. Jakarta PT Raja Grafindo Persada Authors Irsal Marsudi Sam Setiowati Setiowati Rakhmat Riyadi DOI Abstract Abstract Most of the land beach border Village Bintarore has been controlled and owned by the community. The purpose of this research are 1 to know the kind of land tenure, land ownership, land use and land utilization; 2 Land Office Policy in Bulukumba Regency granting land rights; 3 the suitability of the land use and land utilization with RTRW. The research was conducted using qualitative methods for data analysis, survey and interview methods for data collection and the use of the census method. Based on the results of the study are known 1 land on the beach border Village Bintarore is controlled by the Government, the public and legal entities. Types of landholdings consists of State land and land ownership rights. Type of land use consists of the use of the open land for housing, services, government agencies, religious services, rental services, workshop, warehousing, graves, sports field, industry, trade and services mix. Land utilization type consists of utilization as a place of residence, mix, economic, social, agricultural and not utilized; 2 Bulukumba District Land Office do policies to keep providing land rights in the area of the border of the Bintarore Village beach, 3 there are 87,19% mismatch between the use and utilization of land at Bintarore Village beach border with IP4T, RTRW, beach Sebagian besar tanah sempadan pantai Kelurahan Bintarore telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat. Tujuan penelitian untuk mengetahui 1 Jenis penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 2 Kebijakan Kantor Pertanahan Kabupaten Bulukumba dalam pemberian hak atas tanah; 3 Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan RTRW. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei dan wawancara serta menggunakan metode sensus. Berdasarkan hasil penelitian diketahui 1 Tanah di sempadan pantai Kelurahan Bintarore dikuasai oleh pemerintah, masyarakat dan badan hukum. Jenis pemilikan tanah terdiri dari tanah negara dan tanah hak milik. Jenis penggunaan tanah terdiri dari penggunaan untuk perumahan, tanah terbuka, jasa instansi pemerintah, jasa peribadatan, jasa sewa, perbengkelan, pergudangan, kuburan, lapangan olahraga, industri, jasa perdagangan dan kebun campuran. Jenis pemanfaatan tanah terdiri dari pemanfaatan sebagai tempat tinggal, campuran, ekonomi, sosial, pertanian dan tidak dimanfaatkan; 2 Kantor Pertanahan Kabupaten Bulukumba melakukan kebijakan untuk tetap memberikan hak atas tanah di kawasan sempadan pantai Kelurahan Bintarore 3 Terdapat 87,19% ketidaksesuaian antara penggunaan dan pemanfaatan tanah di sempadan pantai kelurahan Bintarore dengan Kunci IP4T, RTRW, sempadan pantai. Downloads Download data is not yet available. Author Biographies Irsal Marsudi Sam Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Setiowati Setiowati Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Rakhmat Riyadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional References Harsono, B 1997, Hukum agraria indonesia sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Limbong, B 2014, Politik pertanahan, Pustaka Margaretha, Jakarta. Parlindungan, AP 1991, Berakhirnya hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA, CV Mandar Maju, Bandung. Puspasari, S & Sutaryono 2017, Integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang, STPN Press, Yogyakarta. Santoso, U 2010, Hukum agraria dan hak-hak atas tanah, Prenada Media Group, Jakarta. Wiradi, G 1989, Masalah tanah di Indonesia, Bharata, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 21 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bulukumba. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 7 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2022. How to Cite Sam, I. M., Setiowati, S., & Riyadi, R. 2020. Analisis Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah di Sempadan Pantai di Kelurahan Bintarore. Tunas Agraria, 32, 122–139.